Sejarah Pegadaian di Indonesia
Sudah lama terjadi bahkan sebelum Belanda datang ke Indonesia. Masyarakat di Indonesia ratusan tahun yang lalu sudah melakukan transaksi hutang dengan jaminan barang tidak bergerak berupa tanah atau melaksanakan gadai tanah. Di beberapa daerah, melakukan gadai tanah sudah terbiasa dilakukan oleh masyarakatnya dengan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan sedikit berbeda dengan sejarah pegadaian yang disahkan oleh pemerintah..
Tujuan utama adanya pegadaian sebagai lembaga keuangan bukan bank adalah
upaya khusus untuk menumpas segala macam praktek pinjam-meminjam yang tidak
diinginkan seperti ijon, rentenir atau pihak lain yang memberikan pinjaman
tidak wajar dengan bunga yang sangat tinggi dan merugikan rakyat kecil.
Baca Juga : Pengertian, Fungsi dan Visi Misi Pegadaian
Baca Juga : Pengertian, Fungsi dan Visi Misi Pegadaian
Saat ini, sesuai perkembangan waktu, pegadaian dalam memberikan pinjaman
kepada masyarakat tidak hanya melayani kredit gadai saja, tetapi juga jasa
keuangan lain, seperti kredit berbasis fidusia, pembiayaan investasi emas, dan
jasa finansial lainnya. Selain itu, Pegadaian sudah bukan monopoli negara
karena banyak perusahaan swasta yang memberikan layanan gadai. Dengan demikian
unsur subyektif pengadaan pinjaman oleh pegadaian jelas menggambarkan sifat
kredit bisnis pegadaian yang menciptakan perbedaan pegadaian bumn dengan
swasta.
Sejarah Perkembangan Gadai di Indonesia
Kegiatan gadai pada sejarah peradaban manusia sudah terjadi di negara Cina
pada tahun 3000 silam yang lalu. Sedangkan di benua Eropa dan kawasan laut
tengah, gadai sudah dilaksanakan pada zaman Romawi. Awalnya bentuk gadai yang
dilembagakan (pegadaian) secara formal berkembang di Italia yang kemudian
dipraktekan di wilayah Eropa lainnya seperti di Inggris dan Belanda. Belanda
yang datang ke Indonesia membawa konsep gadai melalui Vareenigde Oos
Compagine (VOC).
Sejarah lembaga gadai (pegadaian) di Indonesia dimulai sejak tahun 1746
saat kedatangan Gubernur Jendral Vareenigde Oos Compagine (VOC) Van
Imhoff. VOC sebagai salah satu maskapai perdagangan dari Belanda yang datang ke
Indonesia didirikan sebagai bentuk usaha untuk memperlancar kegiatan ekonomi
Belanda.
Untuk itu Gubernur Jenderal Van Imhoff mendirikan Bank Van
Leening di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746 dengan tujuan sebagai lembaga
keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai. Melalui surat keputusan
tertanggal 28 Agustus 1746 dengan modal awal sebesar f 7.500.000; yang
terdiri dari 2/3 modal milik VOC dan sisanya dari swasta.
Ketika VOC bubar tahun 1800 maka usaha pegadaian diambil alih oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Daendels, peraturan gadainya
dirubah kembali yaitu tentang peraturan tentang barang yang dapat diterima
sebagai jaminan gadai seperti perhiasan dan lain-lain.
Kedatangan Inggris di Indonesia setelah mengalahkan Belanda, kemudian
mengambil alih kekuasaan jajahan Belanda di Indonesia (1811-1816) termasuk Bank
Van Leening dan menggantinya dengan Licentie Stelsel. Aturan
pun diubah yaitu setiap orang boleh mendirikan usaha unit gadai, namun dengan
syarat harus adanya ijin dari pemerintah daerah setempat. Di bawah
kekuasaan Raffles, ijin dikeluarkan kepada perorangan, khususnya keturunan
Cina.
Pembubaran Bank Van Leening sebagai monopoli gadai membuat masyarakat Indonesia diberi kebebasan untuk mendirikan usaha pegadaian asalkan adanya lisensi dari pemerintah daerah setempat yang dibentuk oleh Inggris. Hal ini menimbulkan dampak negatif dengan munculnya lintah darat atau rentenir (Woeker) yang dapat menyengsarakan masyarakat Indonesia saat itu. Sehingga diganti dengan sistem penyewaan atau Pachstelsel pada tahun 1814, di mana campur tangan langsung oleh pejabat lebih terasa.
Pada saat Belanda datang kembali ke Indonesia pada tahun 1816, Bank Van
Leening dengan sistem dan konsep gadai tersebut dilanjutkan dan dipertahankan.
Pada tahun 1816 seluruh wilayah Jawa dan Madura telah memiliki pegadaian,
kecuali Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta, di mana sistem
penyewaan yang menjadi hak prerogatif kelompok bangsawan tetap berlaku, monopoli
pegadaian tidak dikembangkan ke pulau lain sampai tahun 1921.
Namun pemegang hak pegadaian ternyata dapat melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil barang yang digadaikan oleh masyarakat. Dengan menetapkan bunga yang begitu besar sehingga tidak memungkinkan penggadai mengambil kembali barangnya, Jika barang jaminan disita, maka bentuk penyitaannya menjadi hak milik kolonial Belanda, sehingga pada tahun 1870 nama Pegadaian dirubah lagi pada menjadi Licentie Stelsel, dan pada tahun 1880, diganti namanya menjadi Pachstelsel kembali.
Lembaga Pegadaian Pertama di Indonesia
Pada tahun 1901, berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda no 131 tanggal 12 Maret 1901 mendirikan rumah gadai pemerintah di Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 1 April 1901 dengan nama Jawatan Pegadaian. Selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Pegadaian. Hal itu sebagaimana diatur dalam staatsblad tahun 1901 No. 131. Isi dari KUHP-nya ketika itu adalah:
Sejak saat itu di bagian Sukabumi kepada siapapun tidak diperkenankan untuk dengan member gadai atau dalam bentuk jual beli dengan hak membel kembali, meminjamkan uang tidak melebihi 100 (seratus) golden. Dengan hukuman tergantung kepada kebangsaan para pelanggar yang diancam dalam Pasal 337 KUHP bagi orang-orang Eropa dan Pasal 339 KUI IP bagi orang Pribumi.
Pada mulanya Jawatan Pegadaian Negara melakukan upaya khusus untuk menumpas
segala macam praktek pinjam-meminjam yang tidak diinginkan. Artinya, yang
dirugikan masyarakat, misalnya suku bunga yang tinggi, lelang yang diatur,
barang gadaian yang tidak terawat. Dengan cara ini akhirnya mosi percaya dari
masyarakat dapat ditegakkan. Pengawasan langsung oleh pemerintah diberlakukan
di seluruh Jawa dan Madura pada tahun 1904.
Seiring perjalanan waktu, pegadaian milik pemerintah semakin berkembang
dengan baik sehingga pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan monopoli.
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan monopoli pun diatur oleh pihak pemerintah
Hindia Belanda dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana yang tercantum dalam
Pasal 509 dan Staatsblad No. 266 tahun 1930.
Pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak perubahan yang terjadi pada
kebijakan maupun Struktur Organisasi Jawatan Pegadaian, hanya saja Gedung
Kantor Pusat yang semula di Jalan Kramat Raya 162 dipindahkan ke Jalan
Kramat Raya 132. Jawatan Pegadaian atau Sitji Eigeikyuku dalam bahasa Jepang
dipimpin oleh warga Jepang yaitu Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang
bernama M. Saubari.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, rumah gadai yang merupakan salah
satu bentuk lembaga keuangan bukan bank ini di kuasai pemerintah Republik
Indonesia. Namun Kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karang Anyar
(Kebumen) dan ke Magelang karena situasi perang Agresi militer Belanda. yang
kian terus memanas.
Jawatan Pegadaian pada tanggal 1 Januari 1967 dijadikan perusahaan Negara (PN) dan berada dalam lingkup Departemen Keuangan Pemerintah RI berdasarkan peraturan No. 176 tahun 1961. Kemudian berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN), selanjutnya berdasarkan PP.No.10/1990 (yang diperbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2011 tanggal 13 Desember 2011, bentuk badan hukum Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Kegiatan umum yang dilakukan PT Pegadaian saat ini adalah melakukan
aktivitas pembiayaan seperti kredit gadai serta menawarkan produk berupa
sejumlah jasa non-gadai seperti penitipan barang, penaksiran nilai barang, dan
gold counter, namun tetap dalam pengertian pegadaian yang sebenarnya.
Demikian Artikel tentang Sejarah Pedagaian yang di Indonesia Lengkap semogga bermanfaat
Silakan komentar dengan bahasa indonesia yang baik dan sesuai dengan topik pembahasan
EmoticonEmoticon